Wednesday, November 30, 2011

MENGUAK TABIR: ASAL MUASAL URANG SARIAK BERDAGANG ANTIK

Kata “Urang Sariak” entah kenapa sering digunakan dalam pantun-pantun maupun lagu Minang, baik sebagai sampiran ataupun isinya.

Coba saja lihat dari beberapa lagu Minang dibawah ini:

Urang Sariak pai ka ladang, ondeh …
Manjinjiang balam jo sangkaknyo, iyo …
Tali ka denai rantang panjang, ondeh …
Usah baniaik mamutuihnyo, iyo …
(lagu Urang Sariak - Alkawi)

Urang Sariak, Rang Sungai Pua
Nan batagak batu palano
Urang Sariak, Rang Sariak oi
Urang Sariak, Rang Sariak oi
(lagu Urang Sariak - Misramolai)

Urang Sariak babaju ganiah
Pai manggaleh ka Padang Lua
Iyo sarik bak ayam putiah
Kok indak sikok, alang manyemba
(lagu Usah Diratok’i - Tiar Ramon)

Kalau Sungai Pua (Sungai Puar, kabupaten Agam - Sumatera Barat) terkenal sebagai daerah penghasil peralatan dari logam, terutama dari besi dan kuningan, maka nagari Sariak dikenal sebagai kampungnya pedagang antik. Di Jakarta misalnya, boleh dibilang lebih dari 80% pedagang antik berasal atau merupakan kerabat dari urang Sariak. Komunitas pedagang antik di Jakarta Selatan misalnya, bisa ditemui di Ciputat,  Pasar Jum’at dan Kemang, atau kawasan Jakarta Pusat di seputaran Kebon Sirih dan jalan Surabaya.

Saya sudah cukup lama bertanya-tanya dalam hati, apakah hanya faktor kebetulan saja yang membuat bisnis barang antik ini didominasi oleh pedagang yang berasal dari satu kampung? Atau mungkin ada alasan lain sehingga kondisi ini bisa terjadi.

Alhamdulillah pertanyaan yang cukup lama mengganjal, akhirnya membuahkan jawaban yang bisa diterima, setelah berbincang-bincang dengan beberapa orang tua dan penghulu Sariak. Cerita ini mungkin ada manfaatnya untuk diketahui oleh generasi muda Sariak.

Satu hal yang tidak banyak diketahui oleh anak muda Sariak dewasa ini adalah bahwa  puluhan tahun yang silam atau bahkan lebih, banyak orang Sariak yang berprofesi sebagai tukang patri. Kita tentu paham bahwa tukang patri dalam menjalankan profesinya akan berkeliling mencari pelanggan yang akan menggunakan jasanya untuk menambal (mematri) panci dan barang-barang logam lain yang bocor.

Konon menurut kisahnya, dalam menjalankan profesinya seringkali tukang patri memperoleh barang-barang bekas dari pelanggannya, entah dikasih atau dibeli dengan harga murah.

Sekali waktu, tukang patri yang sedang menenteng beberapa barang bekas (bisa berupa barang kuningan atau porselen Cina) itu dicegat oleh serdadu Belanda yang berpapasan di jalan. Barang bawaannya diperiksa dan diamat-amati oleh opsir tersebut. Awalnya disangka bahwa barang bekas tersebut akan dirampas. Tetapi ternyata tidak. Orang Belanda itu bertanya, apakah barang ini mau dijual? Kita tentu tidak tahu persis apa yang sesungguhnya terjadi. Tetapi menurut kisah turun temurun, terjuallah barang bekas itu dengan harga yang diluar perkiraan si tukang patri. Barang bekas yang dinilai antik oleh orang Belanda itu dibeli dengan harga tinggi. Malah si Belanda itu berpesan pula, kalau ada barang-barang seperti itu lagi, tolong bawakan lagi dan  akan dikasih imbalan harga yang bagus.

Peristiwa tersebut jelas merupakan kabar gembira bagi tukang patri warga Sariak tersebut sehingga dia menjadi terpacu untuk “hunting” benda-benda bekas seperti porselein untuk bisa ditawarkan kepada orang Belanda. Tentu saja berita ini mulai tersebar ke teman-teman se profesinya, sehingga perburuan barang bekas yang dianggap “antik” pun dilakukan. Kemudian ternyata bahwa peminat barang antik itu bukan hanya satu dua orang Belanda saja, tetapi juga yang lainnya. Terjadilah prinsip ekonomi supply & demand disini. Uniknya disini, perburuan barang antik hanya dilakukan oleh komunitas tukang patri, yaitu orang-orang Sariak.

Barangkali karena merasa bahwa ladang perburuan mereka di sekitar Fort de Kock (kabupaten Agam) sudah tidak menjanjikan lagi, para pemburu barang antik ini mulai bergerak keluar. Disitulah awal perantauan pemburu barang antik ke negeri orang, seperti ke Kuching, Sarawak bahkan hingga Siam (Thailand).

Alkisah di tahun 1934 ada tiga sekawan pedagang antik Sariak yang berangkat hendak mengadu nasib ke Batavia. Mereka adalah Ican St. Iskandar, Ajis St. Palindih dan Jakman. Mereka bertiga inilah tampaknya pioneer pedagang antik asal Minang di tanah Betawi. Darah dagang orang Minangkabau mereka benar-benar diuji di tanah rantau. Semangat juang yang tak kenal menyerah membuat mereka bisa “survive” dan bahkan berhasil mendapatkan pelanggan-pelanggan yang setia. 

Ajis (yang belakangan dipanggil Inyik Krukut karena lama tinggal di daerah Krukut) menjadi pemasok yang dipercaya oleh kolektor keramik kuno bernama de Flines. Menurut literatur, 80% koleksi Museum Nasional adalah sumbangan dari de Flines yang bernama lengkap Egbert Willem van Orsoy de Flines, seorang Belanda penggemar keramik yang dahulunya tinggal di Ungaran, Jawa Tengah. Sumbangan itu diserahkannya ke museum Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunst en Wetenschappen (The Royal Batavian Society for the Arts and Sciences) yang kemudian menjadi Museum Nasional sekarang. Ironisnya, pada bulan September 1987 Museum Nasional disatroni maling. Ada dua puluh keping keramik tua bernilai tinggi raib, yang sebagiannya adalah warisan De Flines.

Di tahun 50-an, keramik tua yang dipasok oleh Ajis cs banyak yang dipajang di Museum Nasional. Nama mereka sebagai penemu turut dituliskan pada label yang menyertai pajangan tersebut. Disamping itu Ajis juga rutin menjual keramik tua temuannya ke Yung Tju Ping, pemilik anggur terkenal Anggoer Tjap Ikan Mas yang tinggal di gang Kelenteng (Kota).


Pada generasi berikutnya, salah seorang anak muda Sariak yang mengikuti jejak sebagai pedagang antik adalah Johan. Sebelumnya ia sempat menjadi pedagang kelontong asongan di Singapore. Setelah menikah di tahun 1957 pun, Johan masih sering berkeliling hingga ke Makassar dan Ternate untuk memburu barang-barang antik, khususnya porselen Cina.

Bisnis antik yang digeluti Johan (yang kemudian bergelar Dt. Palindih) semakin berkembang setelah menetap di jalan Sabang dan mencanangkan trade marknya, Johan Arts & Curio.
Pada masa jayanya. Toko Johan Arts & Curio di pojok jalan Sabang Jakarta Pusat sering dikunjungi para pelanggan setianya, termasuk Dewi Soekarno, Tong Djoe (pengusaha dan pelobi ulung sejak jaman Sukarno hingga sekarang) dan Raka Sumichan (kolektor porselen dan lukisan yang berdomisili di Surabaya). Ketika Imelda Marcos berkunjung ke Jakarta, secara khusus Imelda mampir belanja ke Johan Arts. Di tahun 70 an Johan pernah diminta untuk menjadi dosen tamu di Arkeologi UI untuk subyek  "porselen Cina", tapi ditolaknya karena merasa tidak pantas untuk itu.

Dunia bisnis antik juga sama dengan bisnis lainnya, ada masa pasang surutnya. Bisnis antik di Indonesia boleh dikatakan mencapai masa jayanya di tahun 70-an hingga terjadinya krisis moneter di akhir tahun 1997. Di era reformasi ini perdagangan barang antik (yang sesungguhnya merupakan kebutuhan tertier atau lebih rendah) di masyarakat secara perlahan terlihat merosot seirama dengan kondisi ekonomi Indonesia yang belum juga pulih. Kemampuan daya beli masyarakat domestik dan luar negeri tidak lagi sebaik tempo dulu. Disamping itu barang antik juga semakin sulit diperoleh. Akibatnya, barang antik yang dijajakan kebanyakan sudah tidak lagi murni antik, tapi sudah merupakan "antique like" seperti kursi meja kreasi pengrajin di Jawa Tengah dengan meniru model furnitur yang asli (tua). Truk-truk kontainer yang beberapa tahun lalu sering mangkal di ruko-ruko Ciputat guna memuat barang/furnitur untuk dikirim ke manca negara, kini sudah agak lebih jarang terlihat.

Demikian sekilas sejarah singkat asal usul perdagangan barang antik khususnya di Jakarta.

(Nara sumber: Engku Ono. Dt. Palindih, Hj. Nurlaili Johan)

Ciputat, 22 Juli 2011.

No comments:

Post a Comment